Loh 11 bulan belum bisa jalan? Anakku umur 9 bulan sudah bisa jalan. Begitulah tanggapan seseorang. Kenapa ga pake baby walker aja mbak? Tambahnya lagi.
Wah padahal ya anakku itu sesuai milestone. Tidak ada yg hampir redflag. Tengkurep di usia 3 bulan, duduk mandiri 7.5 bulan, merangkak usia 8 bulan, berdiri berpegangan usia 7 bulan, berdiri tanpa berpegangan usia 10.5 bulan. Sekarang usia 11 bulan sudah bisa berjalan sendiri 5-6 langkah. Berjalan cepat kalau di pegang 1 tangan.
Kenapa aku harus insecure. Apalagi menurutku motorik kasar bukan satu satunya acuan dalam tumbuh kembang anak.
Masih ada Hal lain, seperti Motorik halus, verbal, kognitif dan sosial.
Kadang kala kita para ibu hanya fokus pada motorik kasar saja, tapi mengabaikan dimensi tumbuh kembang yang lain. Berlomba lomba anak cepat merangkak, jalan, cepat makan nasi dll tapi lupa ada dimensi tumbuh kembang lain yang nggak kalah penting. Salah satunya aspek sosial dan emosional anak.
Ngomong ngomong soal sosial emosional. Siapa disini yang anaknya lahir di masa pandemi. Atau usia balita di masa pandemi. Rasanya tantangannya sangat berbeda dengan anak anak yang terlahir di masa normal tanpa adanya sosial distancing, pengurangan mobilitas, dan ancaman tertular virus corona.
Pas banget beberapa hari lalu aku ikut Webinar bicara Gizi 2022 bersama Danone Indonesia dan BKKBN dalam rangka Hari Keluarga Nasional 2022.
Temanya “Kiat Keluarga Indonesia Optimalkan Tumbuh Kembang Anak di Masa Transisi,”
Yes aku pun sebagai ibu yang melahirkan di masa transisi pandemik ini sungguh merasa lelah. 2 Minggu sebelum lahiran, suamiku kena covid. Harusnya menjelang melahirkan ibu hamil harus merasa happy. Agar lahiran lancar. Tapi aku terpaksa harus stress karena extra protektif terhadap diri sendiri supaya tidak ikut tertular.
Sudah banyak temanku yang sulit melahirkan dalam keadaan positif COVID. Selain sulit mencari rumah sakit. Juga sulit dalam proses penyembuhan.
Untungnya walau terpaksa Caesar. Aku tetap negatif hingga hari H melahirkan.
Repotnya lahiran dalam masa pandemik tidak berhenti sampai disitu. Anak anak yang lahir ketika pandemik Corona kebanyakan terbiasa tinggal di rumah saja.
Cenderung jadi tidak suka bermain keluar rumah, takut ketemu orang asing. Ini banyak terjadi di lingkungan tempat tinggalku.
Nah sekarang di masa transisi saat orang orang sudah banyak yang vaksin lengkap sampai booster. Angka penularan semakin berkurang. Sekolah dan fasilitas publik sudah mulai dibuka. Tentu ada lagi problem yang nantinya dihadapi oleh anak anak di masa transisi ini. Mengingat selama 2 tahun sudah terbiasa pembatasan mobilitas dan sosial distancing.
Sekarang anak anak dituntut untuk masuk masa transisi seperti rutinitas baru untuk pergi ke sekolah, taman bermain, taman perumahan yang lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sosial menuntut adanya upaya adaptif.
Tentu situasi ini menuntut anak kembali untuk beradaptasi dengan rutinitas yang baru lagi.
Pasti sebagai orang tua kita bisa saja bingung bagaimana pola asuh yang harus diterapkan sekarang?
Menurut Survei BKKBN yang disampaikan oleh Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr. Irma Ardiana, MAPS menerangkan bahwa gaya pengasuhan memengaruhi perkembangan kognitif, emosional, dan sosial anak.
Survei ini mengungkapkan bahwa selama pandemi COVID-19, 71,5% pasangan suami istri telah melakukan pola asuh kolaboratif, 21,7% mengatakan istri dominan, dan 5,8% hanya istri saja.
Di sisi lain, data UNICEF menyebutkan bahwa selama pandemi orangtua mengalami tingkat Stress dan depresi yang lebih tinggi, serta menilai pengasuhan anak di rumah saja memiliki risiko tersendiri. Kondisi ini sangat mungkin menghambat kemampuan orangtua untuk mengatasi emosi dan kebutuhan psikologis anak.
Ya aku juga sempat depresi. Padahal anakku baru satu. Gimana tidak? Kita tidak bisa semudah itu mempekerjakan ART yang pulang pergi tanpa khawatir tertular Corona. Beberapa keluargaku tertular korona dari artnya yang pulang pergi.
Satu satunya cara yang aku anggap aman untuk pola asuh di masa pandemi kemarin adalah berbagi tugas bersama suami. Yup kami berdua saja.
Apa yang bisa dikerjakan ya dikerjakan dahulu. Mengambil skala prioritas. Ayah juga wajib turut mengasuh anak. Termasuk misal memandikan, menyuapi makan, mengajak bermain. Membaca buku dll
Seperti yang disampaikan oleh dr. Irma. “masa transisi ini pola asuh bersama menjadi lebih baik yang menekankan komunikasi, negosiasi, kompromi, dan pendekatan inklusif untuk pengambilan keputusan dan pembagian peran keluarga.
“Pengasuhan bersama antara ayah dan ibu menawarkan cinta, penerimaan, penghargaan, dorongan, dan bimbingan kepada anak-anak mereka. Peran orangtua yang tepat dalam memberikan dorongan, dukungan, nutrisi, dan akses ke aktivitas untuk membantu anak memenuhi milestone aspek perkembangan merupakan hal yang penting,”
Makanya aku juga mengajak suami untuk aktif mengawasi tumbang anak kami semata wayang. Jangan cuma ibu saja. Bapak juga harus ikut memperhatikan dan kritis, termasuk saat berkunjung ke DSA saat kontrol dan vaksin tiap bulannya.
Yes setuju dengan Bu Irma. Pengasuhan bersama itu memegang peranan penting banget untuk tumbang anak.
Bahkan aku juga setuju dengan pernyataan ” pengasuhan anak adalah tanggung jawab semua orang disekitarnya”
Betul banget. Semoga bisa amanah saat menjadi orang tua
Siap, terima kasih infonya ammah